MENSYUKURI BERBAGAI NI’MAT ALLAH
Begitu juga, menyebut-nyebut aneka ni’mat Allah yang zhahir maupun yang bathin adalah diantara sarana menuju kelapangan dan ketentraman hati. Karena, mengetahui dan menyebut-nyebut ni’mat itu menjadi salah satu sebab yang dengan itu Allah menangkis kegelisahan dan kegundahan.
Seorang hamba dianjurkan untuk bersyukur. Syukur itu adalah tingkatan yang paling tingggi dan paling luhur. Sampai-sampai sekalipun hamba itu dalam keadaan mengalami derita kefakiran atau sakit ataupun cobaan lainnya, karena, jika ni’mat-ni’mat Allah yang telah dikaruniakan kepadanya –yang hal itu tidak dapat dihitung- ia bandingkan dengan cobaan yang menimpanya, maka cobaan itu bukanlah apa-apa dibanding ni’mat-ni’mat lain.
Bahkan jika Allah menguji seorang hamba dengan satu cobaan atau musibah, lalu ia menunaikan kewajiban bersabar, ridha dan pasrah dalam mengarungi cobaan itu, niscaya entenglah tekanan cobaan itu dan ringanlah bebannya. Disamping itu, perenungan seorang hamba pada balasan dan pahala Ilahi dibalik cobaan itu dan keberhambaannya kepada Allah dengan melaksanakan kewajiban bersabar dan ridha, semua itu akan dapat mengubah hal yang pahit menjadi manis. Dengan itu, manisnya pahala di balik cobaan itu justeru akan membuatnya melupakan pahitnya bersabar karenanya.
[Disalin dari buku Al-Wasailu Al-Mufidah Lil Hayatis Sa’idah, edisi Indonesia Dua Puluh Tiga Kiat Hidup Bahagia hal 22-26, Penerjemah Rahmat Al-Arifin Muhammad bin Ma’ruf, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Jakarta]
Begitu juga, menyebut-nyebut aneka ni’mat Allah yang zhahir maupun yang bathin adalah diantara sarana menuju kelapangan dan ketentraman hati. Karena, mengetahui dan menyebut-nyebut ni’mat itu menjadi salah satu sebab yang dengan itu Allah menangkis kegelisahan dan kegundahan.
Seorang hamba dianjurkan untuk bersyukur. Syukur itu adalah tingkatan yang paling tingggi dan paling luhur. Sampai-sampai sekalipun hamba itu dalam keadaan mengalami derita kefakiran atau sakit ataupun cobaan lainnya, karena, jika ni’mat-ni’mat Allah yang telah dikaruniakan kepadanya –yang hal itu tidak dapat dihitung- ia bandingkan dengan cobaan yang menimpanya, maka cobaan itu bukanlah apa-apa dibanding ni’mat-ni’mat lain.
Bahkan jika Allah menguji seorang hamba dengan satu cobaan atau musibah, lalu ia menunaikan kewajiban bersabar, ridha dan pasrah dalam mengarungi cobaan itu, niscaya entenglah tekanan cobaan itu dan ringanlah bebannya. Disamping itu, perenungan seorang hamba pada balasan dan pahala Ilahi dibalik cobaan itu dan keberhambaannya kepada Allah dengan melaksanakan kewajiban bersabar dan ridha, semua itu akan dapat mengubah hal yang pahit menjadi manis. Dengan itu, manisnya pahala di balik cobaan itu justeru akan membuatnya melupakan pahitnya bersabar karenanya.
[Disalin dari buku Al-Wasailu Al-Mufidah Lil Hayatis Sa’idah, edisi Indonesia Dua Puluh Tiga Kiat Hidup Bahagia hal 22-26, Penerjemah Rahmat Al-Arifin Muhammad bin Ma’ruf, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Jakarta]
0 comments:
Post a Comment