Friday, July 12, 2013

Di Mana Figur Saudara yang Shalih?

Di Mana Figur Saudara yang Shalih?

Saudaraku,
“Dimana figur seorang saudara yang shalih? Saat keluarga jenazah saudaranya yang wafat, sibuk berbagi warisan, menikmati apa yang ditinggalkan. Tapi saudara yang shalih justru menyendiri penuh kesedihan. Menyesal karena sedikit yang telah diberikan untuk saudaranya. Ia mendo’akannya di antara gelap malam. Ia memohonkan ampunan untuknya. Padahal ia sendiri hidup dalam kesulitan.” 
Ini petikan perkataan seorang ulama yang dikutip penulis kitab Qawa ’id as Salaf adz Dzahabiyah fi al Ukhuwwah al Imaniyah. Sebuah kitab yang menuangkan banyak hal tentang prinsip emas hubungan persaudaraan kaum Muslimin generasi terdahulu. Persaudaraan dalam keimanan, kebersamaan di atas jalan Allah, adalah rantai penting yang mampu memperkuat kita mengarungi derasnya permasalahan hidup.

Masih ingat perkataan Hasan Al Bashri saudaraku? Dialah yang mengatakan, dirinya lebih mencintai saudara-saudaranya di jalan Allah ketimbang keluarga dan anak-anaknya. “Keluarga kami mengingatkan kami dengan dunia, sedangkan saudara-saudara kami di jalan Allah mengingatkan kami dengan akhirat,” begitu ujar Hasan Al Bashri rahimahullah. Begitu indahnya zaman itu. Saat kedudukan seorang saudara di jalan Allah menempati kedudukan paling tinggi dalam jiwa. Ketika seorang saudara di jalan Allah lebih diutamakan ketimbang diri sendiri. Di waktu kebaikan untuk seorang saudara lebih sering diharapkan daripada untuk diri sendiri. Sampai-sampai seorang penyair di zaman itu mengukir pentingnya kita untuk bersaudara karena Allah disetiap tempat, di manapun. Katanya, “Saudaramu, saudaramu. Sungguh orang yang tak mempunyai saudara, seperti orang yang berada di tengah medan laga tanpa senjata.” Betapa ingin kita mewujudkan suasana kebersamaan dan persaudaraan di zaman salafushalih ada di antara kita. Allah swt telah merahmati generasi terdahulu dengan nikmat persaudaraan yang begitu indah. Perekatan hati karena Allah. Ikatan batin karena keimanan. Kekuatan yang muncul karena persaudaraan dan kesatuan yang nyaris tak bisa digoyahkan.

Saudaraku di jalan Allah, 
Lalu, sudah berapa lama kita menginjakkan kaki di jalan ini? Hitung-hitunglah masa sejak awal pertama Allah swt mengkaruniakan kebersamaan untuk kita berjalan di atas jalan Allah ini. Ingat-ingatlah rentang waktu yang telah kita lewati, rangkaian peristiwa yang kita tinggalkan, pernak pernik pengalaman, hingga saat ini ketika kaki kita masih di atas jalan ini. Betapa banyak debu, kesulitan, kepedihan yang ternyata berhasil kita lewati dalam kebersamaan ini. Betapa banyak masa-masa indah dan kesenangan tak tergambarkan dalam kebersamaan kita, di waktu lalu.

Di mana figur saudara shalih di atas jalan Allah?
Kita sangat membutuhkan keberadaannya, di tengah zaman “musuh-musuh berebut menyerang, bak berebut memakan makanan di atas piring ”. Kita begitu mendambakan kehadiran suasana persaudaraan yang pernah ada di zaman lalu. Perhatikanlah, di antara syiar-syiar persaudaraan di antara mereka. Mereka yang dengan prestasi amal ibadah dan dakwahnya yang luar biasa, tapi tetap menganggap saudara-saudara mereka lebih baik dan lebih utama dari dirinya. Dahulu, salah satu syiar mereka tercermin dari perkataan Abdurrahman bin Auf radhiallahuanhu ketika ia datang membawa makanan, dan mengatakan, “Mush ’ab bin Umair ra telah terbunuh. Padahal ia orang yang lebih baik dariku. Lalu ia dikafani dengan burdah. Jika ditutup bagian kepalanya, terlihat bagian kakinya. Jika ditutup bagian kakinya terlihat kepalanya. Telah terbunuh Hamzah ra. Dan dia pasti orang yang lebih baik dari diriku. Lalu kini, dunia dibentangkan untuk kita seperti yang kita alami sekarang. Aku khawatir kebaikan-kebaikan untuk kita datangnya dipercepat di dunia...”

Setelah itu, Abdurrahman bin Auf ra menangis dan meninggalkan makanannya. Itulah Abdurrahman bin Auf ra. Sosok salah seorang sahabat yang dijamin masuk surga oleh Allah swt. Tapi ia tetap begitu terkesan, begitu menghormati, begitu memuliakan saudara-saudaranya yang lain. Pelajaran sederhana tentang penghormatan kepada sesama saudara Muslim juga diajarkan oleh Imam Bakr bin Abdullah Al Mazni rahimahullah ketika menasihati, “Jika engkau bertemu dengan orang yang usianya lebih tua darimu, katakanlah, orang ini telah lebih dahulu daripadaku dalam hal keimanan dan amal shalih. Ia lebih baik dariku. Jika engkau bertemu dengan orang yang usianya lebih muda darimu, katakanlah, aku telah mendahuluinya dalam dosa dan kesalahan. Jadi, dia lebih baik dariku.”

Perhatikanlah saudaraku,
Tak ada satupun dari mereka yang menganggap dirinya lebih mulia,  lebih patut dihormati, lebih layak disegani, lebih bernilai karena ibadah, lebih hebat karena kedudukan, lebih senior karena lebih dahulu masuk Islam, dan semacamnya. Jiwa persaudaraan Islam menyerap ke dalam sanubari dan jiwa mereka, sehingga mereka lebih sering melihat kebaikan saudara-saudaranya, ketimbang keburukannya. Lalu, rasa ketundukan dan tawadhu ’ mereka membuat mereka tetap merasa memiliki banyak kekurangan dibanding saudara-saudara mereka. Dan, dari sikap itulah mereka selalu menjadi lebih baik dan lebih baik.

Abdullah bin Mas ’ud radhiallahu anhu bahkan diriwayatkan kerap mengungkapkan satu perkataan hingga nyaris dihafal oleh para sahabatnya. Perkataan itu adalah, ungkapan hatinya kepada sahabat-sahabatnya, “Antum jalaa-u qalbi ”, kalian adalah penyejuk hatiku. Indah dan menyentuh sekali kata-kata Abdullah bin Mas ’ud radhiallahu anhu. Ia tokoh sahabat yang disebut Rasulullah saw, sangat memahami Al Quranul Karim. Tapi dia begitu memiliki kenyamanan dan keintiman sendiri dengan saudara-saudaranya.

Saudaraku,
Di mana figur saudara-saudara shalih di jalan Allah? Kenapa kita tidak segera mewujudkannya hadir di antara kebersamaan kita?

Sumber : (Tarbawi edisi 140)

0 comments: